20 May 2011

Gelas Kaca

Hari beranjak sore, matahari hampir tenggelam saat kaki-kaki legam mengayuh sebuah becak dengan peluh yang mengalir dari dahinya melewati jembatan Sondrian, kota kecil dipelosok Jawa Timur. Gurat lelah menghiasi wajah yang terlihat lebih tua dari umurnya. Beberapa meter didepannya ada sebuah warung desa, sebuah desa yang harus ia lewati sebelum masuk ke desanya sendiri. Warung mbak Rahmi, begitulah orang-orang warung menyebutnya. Janda muda yang tidak punya anak. Bentuk tubuh yang membuat setiap mata lelaki terpana ditunjang dengan paras yang cantik semakin menambah daya pikatnya.

Diparkirnya becak itu disamping warung.
“Pulang narik kang?” sapa Soleh, salah satu temannya yang berprofesi sebagai tukang ojeng.”
“Iya Leh, dah mau pulang to?”
“Iya, nyonyaku dah nunggu”. Semburat tawa terlepas dari wajahnya bersahabat.
Sore itu banyak sekali pembeli, mayoritas laki-laki dengan asap rokok yang mengepul diudara. Membuat warung yang sempit itu semakin sempit dengan kepulan racun mereka. Seperti biasa mbak Rahmi berdandan sangat cantik berbalut kaos dengan potongan leher yang rendah membuat payudaranya terlihat lebih menarik.
“Makin nyembul aja tu mbak.” Seloroh salah satu pelanggan tetapnya.
“Ah.. kang Danu ini ada-ada aja.” Jawabnya dengan genit sembari melirik laki-laki yang baru saja bicara dengannya.
“Eh mas Slamet, kopi kental to?”
Tanyanya pada pria yang baru saja memarkir becaknya tak lupa dengan suara kenes dan kerlingan mata.
“Satu sendok gula ya mbak.”
“Iya, Rahmi sudah hapal kok.”
Pria itu duduk di amben kayu disamping pintu masuk. Kaki kanannya ia angkat ke atas sambil mengambil sebatang rokok tertata dalam gelas dimeja. Mbak Rahmi meletakkan gelas dengan sedikit mendekat ke tempat Slamet duduk.
“Ini mas, capek ya?”
Harum parfum pemilik warung itu menggelitik syaraf kelelakiannya, namun ia mampu menguasai diri.
“Sepi mbak, kebanyakan tukang becak yang lain malah ndak narik.” Ia menyeruput kopi kentalnya.

“Met, kapan bojomu balik?”
“Masih lama kang, kontraknya baru jalan 1 tahun setengah.”
“Loh iya toh? Wah masih lama no, kamu mau ikut opo ora? Aku tahu tempatnya genggek-genggek ayu.” Ucapnya sembari tertawa.
“Ngomong opo to kang sampeyan iki.”
Slamet malu mendengar ajakan temannya itu. Ia mulai salah tingkah.
“Halah, ojo munafik!!! Ditinggal bojo mestine kowe yo pengen. Rak yo ngono to?”
Slamet hanya tersenyum dan kembali menyeruput kopinya. Dinikmatinya kopi itu dengan hisapan rokok dimulutnya. Terkadang ia merindukan belaian wanita namun hal itu ditepisnya mengingat istrinya bekerja di Taiwan. Teman-teman ojek tak henti-hentinya mengajaknya ke tempat-tempat lendir karena bagi mereka kesenangan adalah hal yang biasa.

Ia pun tiba dirumahnya. Gadis berusia tiga belas tahun dengan wajah sumringah menyambut kedatangannya.
“Assalamualaikum”. Gadis itu tersenyum. Slamet yang sadar bahwa Gadis itu menyindirnya karena tak mengucapkan salam ketika memasuki rumahpun kontan menjawabnya.
“Waalaikumsalam.”
“Kok sampek malem pak nariknya. Bapak sudah sholat?”
“Oh..ehm..sudah tadi dijalan.” Laki-laki itu menjawab dengan tergagap.
“Adekmu mana nar?”
“Di langgar pak, belajar ngaji sama ustad Munir.”
“Oh.. ya udah buatkan bapak kopi.”
“Iya”.

*****
Pagi sudah menyingsing. Ia berangkat narik. Namun sebelum berangkat ia mampir ke warung mbak Rahmi untuk membeli kopi. Dilihatnya penjual seksi itu. Warung masih teramat sepi. Ada rasa yang tak bisa ia tahan ketika melihat mbak Rahmi yang pagi itu baru saja kramas. Rambutnya yang masih basah membuat cetakan gelap di atas kaos ketatnya. Selesai menghabiskan kopinya, ia pun pergi. Entah mengapa hari itu ia terus teringat akan perkataan teman ojeknya kemaren. Tawa dan senyuman culas terus saja terbayang dibenaknya. Satu dua orang menggunakan jasanya becaknya. Dengan senang hati ia mengayuh. Hari itu ia pulang lebih awal dari biasanya. Sesampai dirumah dilihatnya Dinar dan adeknya sedang bermain boneka-bonekaan didepan rumah. Pikiran setan mulai merasukinya ketika melihat Dinar memakai kaos dan roknya.
“Dinar, buatkan kopi buat bapak dan bawa ke kamar.”
“Iya pak.”
“Dek, mainan sendiri dulu ya, mbak mau buat kopi untuk bapak.” Ucapnya sambil mengusap lembut rambut Puji, adik semata wayangnya yang berusia enam tahun.
“Iya. Nanti kesini lagi ya mbak.”
“Iya, mbak gak akan lama”. Ditinggalnya adiknya bermain sendirian dihalaman rumah mereka.

Gadis kelas dua SMP itu mengaduk-aduk kopi kental kesukaan bapaknya dan kemudian mengantarnya ke kamar tidur bapaknya. Disana bapaknya tergeletak dengan bertelanjang dada.
“Ini pak.”
Dinar meletakkan secangkir kopi di meja sebelah ranjang bapaknya.
“Nar tunggu, bapak pusing tolong pijiti kepala bapak dulu.”
Laki-laki itu bangun dan duduk menghadap tembok. Dinar melangkah mendekat tanpa memperkirakan apa yang akan terjadi selanjutnya. Disentuhnya kepala bapaknnya dengan kedua tangannya. Seperti sengatan listrik, kulit Slamet yang tak pernah tersentuh dengan tangan wanita membuatnya menikmati setiap pijatan anak kandungnya itu. Perlahan-lahan nafasnya memburu. Dorongan besar dan pikiran yang gelap menutupi semua akal sehatnya. Dengan cepat ia berbalik dan mendorong tubuh Dinar ke tembok. Diciumnya tubuh gadis itu dengan membabi buta. Dinar yang tak siap dengan perlakuan ini sontak kaget dan berusaha melepaskan cengkeraman bapaknya.
“Bapak, apa yang bapak lakukan.”
Ucapnya terbata-bata sembari berusaha melepaskan dekapan bapaknya.
“Diam saja, turuti kemauan bapak hari ini. Bapak akan ngasih kamu uang sepuluh ribu.”
“Pak, lepaskan. Dinar ndak mau.” Ia berusaha terus untuk menjauhkan tubuhnya dari tubuh laki-laki itu tapi tenaganya tak mampu melakukannya. Seperti kesetanan sang bapak pun dengan kasarnya melepas baju dinar sehingga beberapa kancingnya terlepas dan jatuh dikasur. Gadis itu semakin panik dan menggigit tangan bapaknya. Sang bapak pun mengaduh sakit dan melayangkan tamparan ke pipi Dinar membuatnya semakin membabi buta menggauli anaknya sendiri. Gadis SMP yang tak berdaya itu dengan mudahnya terbaring keranjang dan menerima perlakukan yang menyakitkan. Setiap gerakannya selalu mampu di tangkis oleh bapaknya dengan cepat. Sentuhan, rabaan dan ciuman yang diterimanya bagaikan pisau yang mengiris tubuhnya dengan sangat cepat. Detik demi detik ia lalui dan tak seorang pun tahu. Hanya dia dan laki-laki itu.
Teriakannya tertahan saat bapaknya membekap mulutnya dengan tangan dan merasakan benda asing yang menerobos masuk ketubuhnya. Ia menangis. Terisak diantara sengalan nafas bapak yang menindihnya tanpa ampun. Layaknya orang yang tak punya nurani, laki-laki itu terus saja menuntaskan hasratnya sampai ia kelelahan dan mendapatkan apa yang ia mau. Tubuhnya ambruk di atas tubuh Dinar. Gadis itu menjerit dalam hati dan terisak sambil menahan kepala bapaknya yang menindih dadanya.

“Ini uang sepuluh ribu. Belilah jajan”. Slamet berkata sangat dingin. Ia mengambil rokok disaku celana yang tergantung di temboknya dan mengepulkan asap pekat.
Dinar tidak mau menerimanya dan hanya menangis. Namun Slamet terus mendesaknya dan mengepalkan selembar uang itu ditelapak tangan dinar. Gadis itu menuruni ranjang dan berjalan ke arah pintu dengan terseok-seok. Kakinya sedikit melebar menahan perih yang ada diselakangnya. Rembesan yang ada dipaha dalamnya semakin membuatnya sedih. Ia menahan tangis sembari melangkahkan kaki keluar rumah. Dilihatnya Puji masih bermain dengan bonekanya. Didekatinya adeknya itu dan diusapnya lembut rambut ikalnya. Adiknya menoleh dan tersenyum.
“Mbak, lama sekali.” Dinar hanya tersenyum. Tercekat dalam tangis yang tertahan.
“Mbak sudah balik sayang.”
“Mainan boneka lagi ya.” Gadis itu menggeleng.
“Mbak mandi dulu ya, nanti kita main lagi.”
“Puji ikut ya.”
“Jangan, adek disini saja. Mbak akan cepat mandinya.” Diciumnya lembut kening adeknya. Puji hanya tersenyum manja. Dinar beranjak kekamar mandi.
“Mbak, kaki mbak kenapa?”
“Tadi terpeleset sayang.” Ia segera berbalik dan pergi kekamar mandi. Dilihatnya lembaran uang itu. Rasa jijik melingkupi hatinya. Diremasnya kuat-kuat uang itu dan ia ludahi berkali-kali. Ia lakukan berulang ulang dan kemudian membuangnya dilubang kamar mandi. Ia menjatuhnya tubuhnya dan menyandarkan diri ditembok kamar mandi. Ia kembali menangis.

“Nduk, jaga adekmu ya. Dua tahun lagi ibuk pulang. Nurut sama bapak ya nduk.”
“Cepat pulang ya buk.” Dinar mendekap tubuh ibunya sesaat sebelum tubuh wanita itu melangkah masuk ke bandara.


No comments:

Post a Comment

Leave comment