19 May 2011

Spring Part II


I  hope, I can be the one for you

“Wanita itu mencintaimu, dan kau juga mencintainya. Tidakkah kau merasakan jiwamu yang sangat bergelora saat bersamanya?”
“Itu bukan cinta, tapi nafsu.”
“Hahahaha… nafsu apa? Kau melakukannya karena kau mencintainya. Kau menikmatinya.”
“Menikmati apa? Kesalahan kah? Dosa yang secara jelas kulakukan?”
“Sejak kapan kau berfikir tentang dosa? Apa kau ingat kapan terakhir kali kau berdoa?”
“Cukup!!! Aku memang tidak ingat semuanya. Tapi yang kulakukan sekarang adalah hal yang nista. Tidakkah kau lihat istriku yang sangat baik sedang tak menentu dikamarnya.”
“Beberapa jam kemudian dia akan normal kembali. Bagaimana dengan wanita itu? Bagaimana dengan gairahmu saat bersamanya?”
“Itu bukan gairah. Itu nafsu!!!”
“Hahahaha…. Kau mulai membedakan antara nafsu dan gairah. Tinggalkan istrimu. Wanita itu sedang menunggumu sekarang.”
“Cukup. Hentikan!!!”

Rendra hanya bisa mendengarkan pergulatan antara dia dan dia. Dua sosok yang melekat dalam tubuhnya. Alisnya bertaut menahan amarah yang ia tumpahkan pada diri nya sendiri.
“Benarkah aku dendam padanya?” Ia berucap lirih. Tanganya mengepal dan memukulkannya disofa tempatnya duduk. Dilihatnya sekilas pintu kamar tidur yang terbuka sedikit. Ia beranjak dan melangkah kekamarnya. Dipegangnya gagang pintu dan membukanya lebih lebar. Istrinya duduk dengan isakan tangis yang tertahan.

I was so far from you
Yet to me you were always so close
I wondered lost in the dark
I closed my eyes toward the signs
You put in my way

Alunan lagu maher zein terdengar nyaring dari ruang keluarga. Hp milik istrinya tertinggal diruangan itu. Lidia tak beranjak dari tempat tidurnya. Suara itu mungkin terlalu pelan untuk didengarnya. Rendra mendekati sumber suara dan melihat tulisan yang tertera dilayar.

My mom
08183495389
Calling

“Halo.”
“Assalamualaikum nak Rendra.” Terdengar suara pelan ibu dari seberang.
“Ibu….”
Rendra mendengarkan dengan seksama tiap kata yang diucapkan ibu mertuanya. Berita bahwa ibu dan ayah mertuanya akan datang hari sabtu depan semakin membuatnya merasa bersalah. Keluarga yang sangat baik padanya, pantaskah harus ia lukai dengan tindakannya. Gairah atas nama cinta? Hanya jawaban iya dan iya yang ia lontarkan sembari lelehan air mata. Ia pun tak sadar ketika Lidia keluar dari kamar mereka. Ia terduduk lemas dikursi. Malam ini terasa begitu dingin meskipun ada penghangat ruangan dirumah nya. Hatinya panas oleh amarah.
“Berwudhulah”.
Ia mendengar suara dari dalam dirinya. Berwudhu, entah kapan terakhir kali ia berwudhu ditengah malam yang dingin ini. Malam seperti ini biasanya ia habiskan bersahabat dengan selimut tebalnya. Ia menghela nafas berat. Antara ia dan tidak ia ingin beranjak. Dan akhirnya ia beranjak untuk mengambil air wudhu.
Dingin, sejuk, damai, itulah yang ia rasakan. Air matanya tak hentinya meleleh kembali.
Ia membuka kamar tidur mereka. Ada sajadah yang masih terhampar di lantai. Mungkin istrinya baru saja sholat. Sudah menjadi kebiasaan bahwa Lidia akan bangun malam. Dilihatnya ranjang itu. Tergeletak tubuh Lidia dengan membelakanginya.
“Apakah kau sudah tidur?” gumamnya dalam hati.

“Allahu akbar”.
Ia terdiam khusuk dalam munajadnya. Inilah yang pertama sejak waktu-waktu panjang yang ia tinggalkan. Ia mencoba mengingat semua bacaan sholat yang telah ia lupa. Lelehan air mata pun tak hentinya menetes dan membasahi pipinya.
“Assalamualaikum warahmatullah”.

Tangisnya semakin pecah. Lidia yang sedari tadi tidak bisa tidur tertegun mendengar isakan tangis suaminya. Namun ia tak punya keberanian untuk menoleh.
“Robbi, ampuni hambamu yang hina ini. Ampuni hamba. Hamba lalai, hamba rapuh. Tak sepantasnya hamba melakukan ini. Ini bukan cinta Robbi, ini bukan cinta. Tak sepantasnya hamba menghianatinya, istri yang hamba kasihi. Wanita yang hamba cintai. Namun hamba tak berdaya dengan godaan ini. Ampuni hamba ya Robbi.”

Lidia kembali terisak. Perlahan-lahan ia turun dari ranjang. Didekatinya tubuh suaminya yang masih terisak bermunajad. Dipeluknya punggung lebar itu. Rendra sadar bahwa istrinya tidak tidur. Didekapnya tangan yang melingkar ditubuhnya. Didekapnya dekapan itu dengan erat.
“Maafkan aku sayang. Aku khilaf”.
“Tidak. Aku yang minta maaf. Aku tak mampu memberikan apa yang kau inginkan, dan itu kau temui diwanita lain.”
Rendra berbalik. Dipandanginya wajah istrinya, diusapnya air mata yang menetes dipipi istrinya. Tangan yang mendekapnya ia pegang dengan erat.
“Jangan berkata seperti itu. Kau telah memberikan yang terbaik untukku. Namun aku goyah. Imanku yang lemah dan kesibukanku bekerja mampu melupakanku akan hadirnya dirimu. Ini karena kurangnya rasa syukurku atas apa yang kumiliki. Ini juga bukan karena dendam sayang, karena aku sudah melupakannya.”
Rendra memeluk tubuh istrinya. Dibiarkannya mereka berdua terisak dalam tangis.

Spring
Like my felling about you
Slowly
But I knew
Long by long
That the truly love I’ve ever had
Is YOU
I love you cause Allah

Rendra teringat surat yang diberikan istrinya beberapa tahun yang lalu.

*****

Beberapa hari kemudian, mereka berkumpul bersama dengan orang tua Lidia. Bercanda dan tertawa bersama. Inilah keluarga yang mereka dambakan. Inilah kebahagian yang mereka cari. Kebersamaan yang akan mereka lalui bersama.


4 comments:

  1. waow...cerita karangan sendiri kah sist? ayoo bikin buku aja sist :)

    ReplyDelete
  2. iyup.. pengennya blog ini ntar dijadiin buku. cover depannya pun udah dibikinin abinya al dua tahun yang lalu. tapi belum kesampaian juga , hehehe...

    ReplyDelete
  3. hmm kereeennn semoga secepatnya wis... :)

    ReplyDelete
  4. ceritamu juga keren. inspiratif banget. ga sabar buat mbaca sari kedelai berikutnya, heheheh...

    ReplyDelete

Leave comment