09 April 2011

tutup dulu pintunya

Sore itu begitu redup. Awan diatas rumah sudah berubah menjadi gelap pertanda hujan akan segera turun. Nindia tampak gusar. Berulang kali ia beranjak dari tempat duduknya dan memandang keluar pintu. Melihat teras depan yang masih sunyi. Tidak ada tanda-tanda bahwa orang tuanya akan segera pulang. Mereka sedang pergi ke rumah saudaranya.
“Ngliat apa sayang?”. Tanya Radit, kekasih Nindia. Mereka berdua sibuk mempersiapkan pernikahan yang kurang dua minggu lagi.
“Bapak ibu kok belum pulang ya mas?”.
“Sebentar lagi mungkin sayang. Sabar ya.”
Keadaan berubah hening. Radit melihat calon istrinya yang kembali duduk tak jauh dari tempat ia duduk. Ditelusurinya wajah perempuan yang cantik itu, wajah putih yang mulus, mata yang indah dengan rambut panjang yang tergerai membuatnya tiba-tiba ingin mendekati gadisnya dan menciumnya. Dia mulai mendekat.
“Sayang….” Suara Radit berubah berat dengan sorot mata tajam menikmati setiap inci dari kulit gadisnya.
Ada apa mas?”
“Kau cantik.”
“Terima kasih”.
Nindia hanya menunduk, dia tidak curiga sama sekali jika kekasihnya menahan hasrat. Pemuda itu memegang tangan Nindia dengan kasar. Sontak gadis itu kaget.
“Mendekatlah padaku.”
“Apa apaan kau mas?”
“Sayang, rumah sepi, sebentar lagi kita akan menjadi suami istri. Mendekatlah padaku. Aku mencintaimu.”
Gadis itu kaget dengan perubahan sikap kekasihnya. Dia mencoba berontak.
“Lepaskan aku mas, lepaskan!”
Cengkeraman Radit begitu erat. Tak kuasa ia memindahkan tangan tangan kekar itu dari tubuhnya. Ia terus menerus menolak. Dan..
“Ok.. aku akan melayanimu mas, tapi lepaskan aku dulu. Tutup dulu pintunya dan kita akan bersenang senang.” Gadis itu melempar senyum.
Radit girang mendengar kata – kata gadisnya. Ia segera melepaskan pelukannya dan menutup pintu-pintu depan. Matanya semakin jelalatan memendam rasa yang membuncah dalam dirinya. Sedangkan Nindia mencoba mengatur nafasnya satu persatu. Ia hanya mengamati setiap gerak gerik pemuda yang sangat ia cintai itu dengan jantung yang terus berpacu dengan cepat.
“Sudah sayang”.
Radit kembali mendekatinya.
“Belum mas, masih ada pintu yang terbuka. Tutuplah dulu. Aku ingin melayanimu dengan tenang.”
“Baiklah.”
Segera pemuda itu memeriksa semua pintu dan kembali lagi.
“Sudah kututup semua sayang. Kemarilah aku sudah tidak sabar.”
“Masih ada yang terbuka mas.”
“Mana?” Radit mulai emosi.
“Pintu dimana Allah masih bisa melihat kita. Tutuplah dulu pintunya. Aku tidak ingin Dia melihat kita.”
Radit terdiam. Tubuhnya gemetar dengan lelehan air mata disudut matanya. Dia tertunduk dan kemudian terduduk disofa. Gadis itu duduk didepannya. Dilihatnya kekasihnya itu lekat-lekat. Dipandanginya tubuh calon suaminya itu yang masih menahan isak tangisnya.
“Mas, aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Kau tahu wajah tampanmu selalu menggodaku, kasih sayangmu selalu membuatku rindu untuk terus bersamamu. Berdua denganmu dengan tak seorangpun disekeliling kita sangatlah kuidam-idamkan. Tapi sayang….aku tidak mau menikmatinya jika itu belum menjadi hak ku. Aku malu mengambil hak itu.”
Radit tak berani memandang gadisnya. Ia terus sesenggukan. Nindia mengulurkan sebuah tisyu di meja ke arah kekasihnya.
“Usaplah, dan cucilah muka mas.”
Radit menerima selembar tisyu dari Nindia.
“Maafkan aku sayang”.
Dia beranjak menuju kamar mandi untuk membasuh mukanya.

Dua minggu kemudian.

Nindia bergelayut manja di punggung suaminya.
“Sayang, jalan – jalan yuk”.
Radit menoleh.
“Let’s go honey”.
Digandenganya tangan gadis itu dan mereka pergi meninggalkan rumah mungil mereka.



2 comments:

  1. dalam hubungan, memang harus ada yang saling mengingatkan ya....biar ga kejrumus..

    ReplyDelete
  2. iya mbak. harus ada yang saling mengingatkan atau paling tidak saling menjaga. Tapi kenyataan dilapangan masih saja sulit ya.

    apa kabarnya mbak? kangen ama cerita mini nya pean

    ReplyDelete

Leave comment