Pemuda itu bernama Rizqaan. Dia adalah satu dari sekian remaja “asing” di zaman metropolitan. Dimana saat remaja belasan tahun seusianya banyak menghabiskan waktu di mall, bioskop dan tempat hiburan lain, ia malah asyik bergelut dengan ilmu islam. Memperkaya dirinya dengan ilmu-ilmu agama.
Remaja yang shalih dan takut kepada Allah. Namun sebagai remaja yang normal ia tak kuasa membendung gejolak nafsu yang terpendam dalam dirinya. Oleh karena itu ia ingin segera menikah dengan gadis yang dianggapnya cocok dengannya.
Dan Halimah, pemudi yang juga shalihah, putri pak Rozaq, seorang pengusaha kaya ray, jadi pilihannya. Meski Rizqaan dari keluarga apa adanya, sebagai muslim idealis, ia tak gentar menemui keluarga Halimah untuk maju meminang. Terkesan nekat, tapi begitulah, selama itu adalah kebenaran yang diyakininya, pantang bagi Rizqaan untuk bersurut langkah.
Walaupun saat itu ia berusia delapan belas tahun dan belum mempunyai pekerjaan tetap, terkadang ia melakukan pekerjaan serabutan seperti tukang batu, kernet mobil dan lainnya, namun karena dukungan ustad dimana dia menimba ilmu akhirnya dia mantab melamar Halimah sebagai istrinya.
Sebagai mana orang tua yang lain, sang calon mertua pun menentang keinginannya karena dia belum mempunyai pekerjaan tetap, tetapi Rizqaan berusaha meyakinkan sang calon mertua bahwa dia tidak main main. Dan dengan berat hari pak Rozaq pun menerima dengan syarat apabila dalam waktu sepuluh tahun dia tidak bisa “sukses” (baca : kaya sesuai barometernya) dan tidak bisa membuat hidup putrinya berkecukupan, maka ia harus rela menceraikannya.
Rizqaan mempunyai dua pilihan, menolak tantangan itu atau menerimanya. Namun pada akhirnya ia memilih untuk menerima tantangan tersebut selama tidak menyalahi aturan ajaran islam. Tak lama kemudian Rizqaan dan Halimah menikah. Mereka mengayuh biduk rumah tangganya dari nol. Orang tua Rizqaan memberi modal rumah kontrakan dan uang yang tidak seberapa. Rizqaan pun memutar otak untuk menafkahi keluarganya. Dan dia memilih usaha untuk berdagang.
Uang pemberian ayahnya ia gunakan untuk mengambil roti dari pabrik. Dan dia mendapat keuntungan Rp. 200,- dari setiap biji roti yang ia jual. Perlahan lahan ekonomi keluarganya pun membaik dan dia bisa mencukupi kebutuhan rumah tangganya bahkan ia sudah punya pabrik roti sendiri.
Sepuluh tahun kemudian ia harus mempertanggung jawabkan kesepakan yang ia buat. Hidup memang menawarkan hal hal yang tidak kita duga sebelumnya. Berbagai musibah dan cobaan menerpa namun itu malah mengokohkan mereka dan sebagian merupakan campur tangan dari orang lain. Peristiwa ini bisa pembaca nikmati di bab bab terakhir.
Sebuah kisah nyata yang mengharukan. Yang memaksaku untuk mengalirkan air mata saat membacanya. Penulis menguraikannya begitu mengalir seakan kita melihat sendiri kejadian tersebut. Namun ada beberapa footnote yang mengganggu saat membaca kisah ini walaupun sangat membantu menjelaskan kata sebelumnya. Mungkin sedikit masukan agar footnote dijelaskan sedikit disampingnya agar pembaca tidak perlu berpindah mata ke atas ke bawah.
Judul Buku : Sandiwara Langit
Penulis : Abu Umar Basyir
Editor : Arif Ardiyansah
Penerbit : Shofa Media Publika
Harga : Rp. 28.000 *belum diskon*