06 July 2013

Dan Akhirnya Kami Bertemu

Malam itu tak akan mungkin terlupa dari ingatanku meski sudah 14 bulan berlalu. Malam bersejarah bagiku dan baginya.  Rabu dini hari pukul tiga, aku mendengar pintu kamarku diketuk perlahan. Aku beranjak dari tempat tidur dan membuka pintu, namun tak ada seorangpun yang berada diluar. Aku kembali beranjak tidur. Lima menit kemudian perutku mulas. Aku bangun dan segera kekamar mandi tapi tidak terjadi apa-apa. Kuputuskan untuk kembali ke kamar lagi. Merebahkan badan lagi dan mulas itu kembali datang. Aku duduk dan berdiri. Mulasnya hilang. Aku tidur lagi mulas lagi. Lalu kuputuskan untuk berdiri dan jalan-jalan didepan rumah. Hari masih gelap. Tak ada seorang pun diluar. Hanya aku dan calon bayiku. Kuelus perutku yang sudah membesar. Perutku terasa kencang.
“Nak, apa kau mau lahir sekarang?”
Bayiku hanya bergerak lembut diperut.
Aku terus berjalan mondar-mandir diteras rumah. Di samping rumah adzan subuh sudah berkumandang. Bergegar ku menuju kekamar mandi dan berwudhu. Selesai sholat aku keluar rumah untuk jalan-jalan pagi seperti biasanya. Bayiku sangat aktif jika kuajak jalan-jalan. Tapi hari ini rasanya berat sekali. Biasanya aku berjalan kaki 1 jam. Namun karena terlalu lelah, aku hanya sanggup berjalan selama 30 menit.
Pukul delapan pagi hari mulas diperutku bertambah. Namun anehnya mulas itu segera hilang jika kugunakan untuk berjalan. Sampai mbah ice datang kerumah.
“Ono opo nduk? Kok mringis-mringis.”
“Perut kulo sakit mbah, tapi nek didamel jalan, sakite ilang.”
“Kenceng?”
“Enggeh.”
“Watako mengkok wes pembukaan nduk? Agi dipriksakne”.
Demi mendengar kata ‘pembukaan’ jantungku langsung berdebar kencang, takut, senang dan bingung campur aduk menjadi satu. Suamiku yang harusnya pergi kemalang untuk bekerja aku tahan agar jangan pergi. Aku merasa ada yang janggal, tapi tidak tahu apa. Menjelang siang sakit diperutku bertambah. Aku mengajak suamiku untuk segera periksa ke bidan. Beruntung bahwa bidanku hanya berselang beberapa rumah dari tempat tinggal kami. Aku tak mempersiapkan apapun karena hanya ingin periksa saja. Namun semua barang keperluan persalinan sudah kusiapkan jauh-jauh hari.
Setiba dibu bidan, aku segera merebahkan diriku di kasur. Kami menjalani pemeriksaan untuk mengetahui apa yang terjadi pada perutku dan ternyata aku sudah bukaan satu. Degup dijantungku semakin kencang.
“Tenang mbak, tetep rileks ya biar nanti persalinannya lancar. Terus berdoa. Kalau masih bisa melakukan sholat, dipakai sholat malah baik.”
“iya bu.”
“Sekarang mbak candra pulang dulu atau langsung nunggu disini?”
“Pulang saja bu.”
Orang-orang dirumah begitu heboh mendengar aku sudah bukaan satu. Aku segera ditanyai macam-macam pengen makan apa. Karena tak pengen apa-apa aku hanya menggeleng. Sampai mertuaku bertanya pengen makan apa? Aku menjawab pia. Karena dari seminggu kemaren aku pengen makan makanan itu, tapi tidak tahu harus beli dimana.
Pukul tiga sore suamiku mengajakku untuk segera ke bubidan dan membawa keperluan persalinan kami. Kata bu bidan sudah bukaan empat. Aku hanya bisa rebahan dan sesekali jalan-jalan untuk menghilangkan bosan. Pukul enam sore kembali diperiksa bukaan lima. Pukul Sembilan malam bukaan enam. Sampai pukul 12 malam bukaan mampet. Tidak ada tanda-tanda bahwa jalan lahir akan menambah bukaannya, sekeluarga panik karena melihat kondisiku sudah lemas menahan sakit tapi pembukaan tidak bertambah. Sampai bu bidan mengatakan kalau pukul 12.20 tidak nambah bukaannya terpaksa harus dioperasi. Kondisi si ibu tidak memungkinkan untuk melahirkan normal, dia sudah kepayahan.
“Ya Tuhan, kuatkan aku, aku ingin melahirkan secara normal.” Bisikku dalam hati. Suamiku hanya menunggui ku disamping dan mengelus kepalaku. Aku sangat melihat kepanikan diwajahnya, tapi sebisa mungkin ia menenangkan diri agar aku tak ikut panic
“Mas, aku ingin normal. Bayiku harus selamat apapun kondisinya.”
“Tenang sayang, semua akan baik-baik saja.”
Pukul 12.20. pembukaan tetap. Segera bubidan dan keluargaku melarikan aku ke rumah sakit. Ditengah hujan yang terus turun, malam-malam kami berkejaran dengan waktu. Terlambat sedikit saja fatal urusannya.
Para suster langsung mengecek kondisiku dan denyut jantung sibayi. Alhamdulillah bayi dalam keadaan sehat. Namun aku sudah kehabisan tenaga. Tanpa meminta persetujuanku suamiku langsung menandatangani kertas operasi. Dengan sisa tenanga yang kumiliki aku digiring ke ruang operasi. Sayangnya suamiku tidak bisa ikut. Aku hanya bisa mendengar suara dokter dan suster yang terllibat dalam operasiku. Mataku melihat garis-garis datar di samping meja operasiku. Badanku kebas. Lima menit kemudian tangisan itu muncul.
Ya Rabbi, demi tangisan ini seketika air mataku meleleh.
“Laki-laki, lengkap, sehat!” teriak sang suster saat melihat bayiku. Segera bayiku dibawa keluar dan aku hanya merasakan gelap.

******

“Laki-laki, lengkap dan sehat pak.” Kata sang suster sambil meraba semua bagian tubuh mungilnya. Laki-laki itu hanya meneteskan air mata. Perempuan paruh baya disampingnya pun ikut meneteskan air mata.
“Adzani anakmu”
Seketika kumandang adzan dibacakan, badan berbalut darah segar itu hanya menggeliat. Mereka membawanya ke ruang bayi untuk dibersihkan.
“Boleh saya ikut?” suara perempuan itu lirih.
“Boleh bu, silahkan.”
Bayi kecil itu sudah dimandikan dan dipakaikan gelang nama sesuai nama ibunya. Semua orang yang mengantar keluar ruangan.

******

“Dia sudah lahir pak”. Kata perempuan paruh baya itu dalam tangisnya. Suaminya hanya bisa memeluknya.
“Sabar bu, semuanya sudah berjalan lancar.”
“Candra pak, candra, semoga dia sehat.”
“Dia akan sehat bu, doakan saja. Tenangkan diri ibu”.

*****

Di kamar pasien
“Kau hebat sayang,  dia sudah lahir dengan selamat.”
“Bagaimana keadaanya mas, seperti apa dia?”
“Wajahnya sama sepertimu, kulitnya putih, tak ada satupun yang mirip denganku.” Katanya sambil menyungging senyum

******

Keesokan harinya                                                                   
Ibu menggendong seorang bayi mungil yang masih merah. Aku melihatnya dengan perasaan haru, senang, dan ada perasaan buncah yang tak bisa dilukiskan. Anakku. Akhirnya kita bertemu.


05 July 2013

Nomer Wahid

sumber : dari mbah google

Kalau ditanya tentang apa kenikmatan nomer wahid di Dunia, aku akan dengan mantap menjawab “TIDUR”.  Insomnia yang sempat menyerangku selama 1 minggu beberapa hari yang lalu membuatku semakin bersyukur akan nikmat kantuk yang diberikan Allah. Disaat suami dan anakku lelap dalam tidurnya, aku justru bahkan sedikit pun tidak bisa tidur. Mencoba untuk sekedar memejamkan mata ujung-ujungnya malah melek lagi. Rebahan, miring ke kiri, miring ke kanan, hasilnya nihil. Mata tetep aja ndak mau tidur. Duh gusti…. Rasanya emosi hampir meledak. Lihat jam dinding udah nunjukin pukul tiga pagi, ga ada tanda-tanda kantuk sedikitpun, bahkan menguappun tidak.

Berhubung libur, alhasil ngeblog pun jadi teman untuk terjaga. Baca-baca plus bertandang ke blog teman-teman yang ada dilist bacaan sedikit mengobati kesepian di dini hari. Tepat pukul empat pagi aku pun menguap. Kucoba untuk merebahkan badan dan ……. Terlelap.

Pukul enam pagi suami membangunkan ku karena al bangun. Ya Tuhan sudah jam enam. Aku kelimpungan memikirkan sarapan anakku dan suamiku pagi ini.

“Ummi ndak bisa tidur ta tadi malam?”
Aku mengangguk.
“Cuci muka gi, bang Edi udah pergi. Kita beli soto aja ya buat sarapan, ummi ndak usah nyiapin makanan, ntar agak siangan aja baru masak.”

Aku mengangguk lagi. Al hanya tersenyum sambil menepuk nepuk tanganku. Beruntung ya punya suami yang pengertian juga, membiarkanku tertidur sampai jam enam karena tahu aku tidak bisa tidur semalaman. Tapi kerjaan dirumah jadi keteteran.


Gini ya rasanya ndak bisa tidur tu… ga enak banget. Beruntung orang-orang diberi kantuk dan kelelapan tidur. Aktifitas berjalan normal dan badanpun juga fit. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?