17 March 2011

~ Aku ingin bahagia ~

Kepalaku pusing, rumah tidak membuatku nyaman dan ingin rasanya segera keluar. Mendengar pertikaian dari kedua orang tua tiap malam semakin membuat kepalaku ingin pecah setiap harinya. Dan malam inilah puncaknya. Aku sudah tidak nyaman lagi berada dirumah ku sendiri. Aku ingin bahagia dan hidup tenang. Rumah yang kuharap menjadi surga ku tapi sayang sekarang berubah menjadi neraka.

Kuputuskan malam ini pergi dari rumah, aku tak peduli dengan teriakkan mama dan papa dari dalam rumah. Aku menstater motorku dan pergi. Pergi tak tahu tujuan dimana ku akan berhenti. Sampai aku sudah merasa lelah dijalan. Kupinggirkan sepeda motorku, dan aku menyulut rokok yang kuambil dari kantong celana jinsku.

Malam ini udara begitu dingin, tapi kurasa dinginnya tidak membuatku sakit. Justru menyejukkan kepenatan yang ada dikepalaku setelah mendengar pertikaian dari rumah. kubuka resleting jaket kulit yang kupakai. Aku pandangi lalu lalang kendaraan yang berseliweran didepanku sambil kunikmati racun yang sedang kuhisap. Banyak mobil mobil mewah yang melintas, banyak orang orang yang berboncengan, satu hal yang kutanya didalam hatiku. “Apakah mereka bahagia? Dimana aku bisa mencari kebahagiaanku?”

Disela sela lamunanku tiba tiba ada seorang anak kecil seumuran anak kelas 4 SD menghampiriku. Dengan membawa kelontong yang berisi beraneka jajan dan dia menawariku sebuah kacang. Kumenolaknya dengan menggelengkan kepalaku.
“Yang lainnya saja dek”.
Anak itu hanya tersenyum dan berkata “Terima kasih” seraya melangkah pergi menjauhiku. Kuperhatikan langkahnya, dia menghampiri beberapa orang disekitarku dan penolakan yang sama diterimanya dengan ucapan terima kasih dan sebuah senyuman. Senyuman tanpa merasa dihina atau ditolak. Dalam hati aku berfikir, anak itu terlatih apa karena kebiasaan atau memang anak itu baik?

Lama lama aku semakin iba melihatnya ditolak berulang kali tanpa ada seorang pun yang membeli dagangannya. Aku pun memanggilnya, dia berlari kearahku.
“Mau beli apa mas?”. Tanyanya dengan senyuman hangat seperti yang kulihat sebelumnya.
Aku hanya menggeleng, dan kuulurkan uang dua puluh ribu kearahnya. Tanpa mengambil uang yang kuberi dia hanya menggeleng ke arahku.
“Mas mau beli apa?” tanya nya sekali lagi.
Aku tersenyum dan menjawab. “Ini kuberikan Cuma Cuma untukmu”.
“Saya bukan pengemis mas, mak pasti akan marah kalau melihat saya membawa uang sebanyak ini tanpa ada barang jualan yang berkurang”.
Dalam hati kecilku seperti dipukul. Aku hanya terdiam.
“Mas mau beli apa?”. Tanyanya dengan sekali lagi senyuman yang hangat.
“Berikan aku semua kacangnya dan minuman yang kau bawa”.
Bocah itu tersenyum dan segera memberikan pesanan yang kusebutkan. Kuberikan uang sejumlah dengan barang yang kupinta. Setelah itu dia pun memandangku.
“Terima kasih mas, mak pasti bahagia karena jualan saya malam ini laku keras. Mari mas”. Ucapnya sambil meninggalkanku sendiri.

Bocah itu sudah paham arti bekerja. Dan yang lebih kusenangi dia selalu memberikan senyuman terbaiknya meskipun banyak orang yang menolaknya. Tanpa merasa dicemooh atau tidak dihiraukan. Dan lagi dia bahagia ketika barangnya laku dengan jujur. Ya bahagia. Niat awalku memberinya uang karena aku kasihan padanya. Namun sekarang bukanlah kasihan namun sebuah rasa kekaguman akan hatinya yang bersih.

Aku memandangi semua barang yang telah kubeli. akan kuapakan barang ini? Tidak mungkin aku memakannya sendiri. Aku pun menoleh kesekelilingku. Kulihat banyak pengemis tua yang duduk dipinggir jalan. Kudatangi mereka dan kuberikan jajan itu. Ajaib, aku melihat senyuman dan mata berbinar dari wajah mereka. Dan hatiku merasa bahagia. Sebuah rasa yang tak pernah kukenal sebelumnya.

Aku pun tersadar bahwa 

Dimana saja mencari kebahagiaan, jika didalam hati kita tidak ada niat untuk berbagi atau saling memberi, kebahagiaan itu tidak akan bisa kita temukan. Kebahagiaan bukan dicari, melainkan diciptakan oleh kita sendiri.

Ah.. andaikan mama dan papa merasakan apa yang kurasa pasti mereka akan harmonis sampai kapanpun. Aku pun pulang.

Setiba dirumah kutemukan rumah dalam keadaan sepi. Aku melihat papa tidur didepan televisi dengan kondisi TV masih hidup. Aku melangkah kekamarku dan mengambil selimut dan kuhampiri tubuh papaku. Kuselimuti tubuhnya. Dan akupun melangkah ke kamarku. Kuharap aku bisa melihat kebahagiaan dirumahku.


No comments:

Post a Comment

Leave comment