25 March 2011

~ Aku menulis maka aku ada ~

Dunia ini tak akan bisa terekam indah hanya dengan mengandalkan memori otak saya yang terkadang bisa terserang “lupa” dikemudian harinya. Untuk merekamnya saya memerlukan bala bantuan. Salah satunya adalah dengan menulis buku diary. Bagi saya menulis adalah kolaborasi antara hati dan pikiran. Hihihi.. apa yang saya rasakan dihati nantinya akan menyerang pikiran saya jika tidak tertuang dalam media apapun. Menumpuk dan terus menumpuk sampai membuat sebuah sarang dalam kepala saya. Oh… tidak… (lebay).

Sejak kecil saya terbiasa dibelikan majalah bobo oleh nenek saya. Setiap hari minggunya bahkan terkadang seminggu dua kali nenek saya selalu hunting ke toko loak untuk sekedar membeli buku-buku yang layak baca untuk saya. Kebanyakan buku yang dibeli oleh nenek saat itu adalah tentang sejarah kerajaan dan dewa dewi di india sampai satu buku yang saat itu saya paling suka dari sekian buku yang dibeli oleh nenek, yaitu buku Sakuntala. Buku itu bercerita tentang seorang gadis cantik yang disebuah desa yang kemudian dia bertemu dengan seorang pangeran dan akhirnya menikah. Kebersamaan mereka tidak berlangsung lama karena sang pangeran harus kembali ke istana. Akhirnya Sakuntala ditinggal sendiri didesa dan kemudian didatangi oleh seorang iblis yang mencintainya. Selanjutnya kalian baca sendiri ya, soalnya saya juga sedikit lupa. Saya menyukai buku itu karena ceritanya bagus dan terutama gambarnya. Begitu detail untuk menggambarkan kecantikan, kekejaman iblis dan pemandangan desa. Wah pokoknya TOP banget. Sayangnya buku itu sudah hilang sekarang. Hiks..hiks…hiks…

Berawal dari buku buku yang dibelikan oleh nenek di toko loak itulah saya mulai keranjingan baca. Setiap minggu saya selalu menagih nenek saya untuk dibelikan sebuah buku bekas di toko loak untuk saya baca. Dan setelah membaca, nenek memberikan tugas pada saya untuk menceritakan ulang apa yang sudah saya baca. Jadinya tiap malam kami selalu menghabiskan malam dengan bercerita. Namun yang menjadi pencerita adalah saya, bukan nenek saya. (kebalik ya, haruse kan yang lebih tua yang bercerita. Sutralah).

Kebiasaan bercerita itulah yang membuat saya selalu ingin bercerita setiap harinya. Ada saja yang ingin saya ceritakan pada nenek tentang semua yang saya alami dirumah, disekolah, dengan teman ataupun ketika saya bermain rumah rumahan dari pasir. Nenek sangat senang mendengarkan cerita saya, namun terkadang karena capek nenek mendengarkan cerita saya dengan terkantuk kantuk. Akhirnya suatu hari saya memutuskan untuk membeli sebuah buku tulis. Saya mulai menuliskan semua uneg uneg saya disana. Apapun yang saya rasakan tertuang dalam sebuah buku tulis itu. Namun ada ganjalan dihati karena buku kan tidak bisa menanggapi apapun ketika kita menceritakan sesuatu. Lalu saya memaksakan “menghidupkannya” dengan memberi dia nama. Zahra, nama yang saya berikan pada buku harian saya yang pertama. Bersama zahra, saya mempunyai teman imajiner. Meskipun dia tidak bisa tertawa ketika saya menceritakan hal yang lucu atau sedih ketika saya menceritakan sesuatu yang membuat hati saya tidak enak, Tapi saya sudah puas karena dia selalu ada untuk mendengarkan celotehan saya.

Berhari hari ditulisi, buku harian pertama saya pun penuh dan minta pengganti. Dan ketika mendapati buku harian saya penuh, saya membakarnya. Saya sempat sedih ketika membakarnya. Padahal itu hanya sebuah buku. Dan berlajut ke buku kedua, ketiga dan seterusnya.

Ketika saya pulang kerumah beberapa minggu yang lalu dan membereskan semua barang yang ada dikamar saya, saya menemukan tiga buah buku yang familiar bagi saya, dan ternyata itu adalah buku harian saya ketika saya SMA dan kuliah. Membuka lembaran-lembaran itu mengingatkan saya akan kenakalan-kenakalan saya. Tersenyum ketika membaca ulang. Lucu. Saya tidak habis pikir karena pernah melewati semuanya. Sekarang saya tidak pernah menulis buku harian lagi. Terakhir saya menulisnya ketika selesai skripsi, satu tahun yang lalu. Apakah saya rindu untuk menulis buku harian lagi? Tidak. Saya hanya rindu menulis. Menuangkan semua uneg uneg yang ada diotak saya. Saya menulis maka saya ada. Meski sekarang saya tidak pernah menulis buku harian, namun lewat halaman-halaman inilah saya mencoba menulis lagi.


5 comments:

  1. yap. jangan berhenti menulis. jadikan ini buku diary, walaupun dengan bentuk berbeda. :)

    ReplyDelete
  2. ya... semangat 2011 untuk tetap menulis. terima kasih sudah berkenan mampir (^_^)

    ReplyDelete
  3. membaca dan menulis memang punya hubungan erat. kata orang sih, untuk memperlancar dalam menulis sering2lah membaca dan Non Zahra sudah melakukan itu.

    Ayo, teruslah menulis!

    Makasih ya, dah mampir di rumahnya Bang Pendi. Senang bersahabat denganmu Non.
    Sekalian minta ijin follow blognya...

    ReplyDelete
  4. wah.... dulu hobi beli majalah bobo loakan juga ya...
    emang minat baca harus ditumbuhkan sejak kecil...
    dulu, tiap selesai baca-baca pmjalah pasti deh pengen ikutan nulis2... ngayal bisa masuk majalah juga... haha

    ReplyDelete
  5. @Bang Pendi : iye bang.. ayu semangat untuk terus menulis. makasih juga bang udah mau mampir. silahkan follow blognya..

    @Mbak Aina : hehehe... pean bisa aja mbak. iya habis baca artikel nya pasti pengen banget nulis trus ada artikel kita yang nongol di situ.
    makasih mbak dah mampir

    ReplyDelete

Leave comment