21 March 2011

Dimana Allah?



Aku adalah seorang ibu dengan satu anak laki – laki yang alhamdulillah sekarang dia menempuh pendidikan S1 di Al ahzar Mesir. Kisah ini sudah bertahun – tahun aku alami ketika anakku masih duduk di bangku pondok. Seperti biasa sebulan sekali aku dan ibu -  ibu lainya datang kepondok untuk menjenguk anak-anak kami . tentunya kami membawa makanan untuk mereka. Rata – rata dari semua ibu membawa masakan yang enak – enak seperti ayam goreng, opor, empal dll begitu pula denganku. Saat kami membuka bungkusan makanan, ada seorang ibu yang duduk didepanku, dia menawarkan makanan yang ia bawa. Semula aku mengira bahwa ibu itu yang kemudian kuketahui bernama bu Aminah, membawa daging empal, karena bentuknya kotak dan berwarna coklat. Ternyata dugaanku meleset. Bu Aminah hanya membawa tempe.
“Silahkan dicicipi bu.”
Beliau menawarkan makanan yang ia bawa. Lalu kamipun terlibat dalam perbincangan dan akhirnya saling bercerita.
“Bu, sebenarnya saya juga pengen lo mbawain anak saya ayam goreng seperti ibu – ibu yang lain. Tapi saya tidak punya banyak uang. Hanya sebatas tempe yang mampu saya berikan.”
Bu Aminah mulai bercerita sambil menahan suara seraknya karena sedih dengan apa yang ia rasakan. Ia pun juga menceritakan bahwa pekerjaanya hanyalah seorang buruh tani. Suaminya meninggalkan dia untuk menjadi TKI di malaysia, namun selama 2 tahun kepergianya sang suami tak pernah memberikan nafkah dan kabar berita. Akhirnya mau tak mau bu Aminah yang memegang setir perekonomian rumah tangganya. Dia kerja membanting tulang untuk menghidupi kebutuhan rumah tangga dan untuk menyekolahkan anaknya yang memang punya keinginan untuk bersekolah di pondok. Setiap bulannya bu Aminah hanya mampu memberikan uang dua puluh ribu untuk keperluan anaknya selama dipondok tipa bulannya. Bayangkan saja, hal itu berbanding terbalik denganku. Setiap bulannya aku mengirimi sejumlah tiga ratus sampai lima ratus ribu, sedangkan bu Aminah hanya mampu memberikan uang dua puluh ribu. Apakah itu cukup untuk mengcover semua keperluan anaknya? Namun memang hanya semampu itu bu Aminah memberikan. Alhamdulillah anaknya mengerti akan kondisi ibunya. Tiap bulanya si anak berpuasa Daud. Sehari makan dan sehari yang lain dia puasa. Dia berusaha agar uang dua puluh ribu yang diberikan ibunya itu cukup untuk biaya nya selama sebulan. Subhanallah….. pengertian sekali anak itu. Dan begitu tegar bu Aminah menerima keadaanya.
Beberapa tahun kemudian aku bertemu dengan bu Aminah lagi ditempat yang berbeda. Kami berdua sangat bahagia karena dipertemukan kembali. Sampai akhirnya bu Aminah mengajak saya untuk bercerita kembali.
“Bu, saya ingin menceritakan sesuatu pada ibu.” Kata bu  Aminah memulai permbicaraan.
“Oiya, dengan senang hati saya akan mendengarnya bu.” Ucapku berbinar .
Wanita itu menghela nafas panjangnya dan mulai bercerita.
“Bu, sekarang saya sedang menghadapi ujian berat.”
Aku terdiam mendengarnya . ujian apa gerangan?  Aku bertanya apakah sekarang dia sudah tidak bisa membiayai anaknya lagi atau dia sudah tidak bekerja lagi?
“Bukan bu, sekarang saya sudah tidak bertani lagi. Tapi saya menggembalakan kambing milik jurangan saya. Saya mempunyai juragan yang sangat baik. Malah sekarang juragan saya melamar saya agar mau dia nikahi.  Dan juragan saya juga berjanji akan menaikkan haji saya beserta anak saya”
Aku tersenyum mendengar penuturan ibu itu. Dalam hati aku berfikir seharusnya ibu itu bersyukur karena telah ada seorang pria baik yang menikahinya.
“Lalu apanya yang berat bu? Terima saja.”
Mendadak bu Aminah kaget mendengar jawabanku. Seakan tak percaya dengan apa yang barusan ku katakan. Lalu dia mengatakan sesuatu.
“Lalu di mana Allah bu?”
Satu kalimat yang menampar telak mukaku.
“Saya masih bersuami bu, meskipun suami saya sudah pergi lama bertahun – tahun dan tidak mengirimkan nafkah maupun surat, tetap saja saya masih sah menjadi istrinya karena saya belum pernah diceraikan. Dan saya yakin suami saya masih hidup.”
Astagfirullah ….. aku malu dengan kata – kata bu Aminah. Bagaimana tidak, selama ini aku rajin ikut liqo’ bahkan aku mulai ikut liqo’ sejak aku duduk dibangku perkuliahan. Sampai sekarang aku juga rajin mengisi liqo’ untuk orang lain, tapi Allah telah menegurku bahwa masih ada orang yang melebihi diriku meskipun dari segi fisik aku jauh lebih baik darinya. Bu Aminah lah salah satunya. Dia lebih baik dariku . dan teguran buatku agar aku tak sombong dengan apa yang sudah aku miliki. Agar aku selalu ingat bahwa setiap apa yang aku lakukan Allah senantiasa melihatku. Baik saat aku sedang melakukan kebaikan atau bahkan keburukan sekaligus. Allah tetap bisa melihatku. Sekalipun semua pintu sudah ditutup saat aku melakukan keburukan, namun pintu Allah padaku tetap saja terbuka dan tidak bisa sekalipun tertutup agar Allah tak bisa melihatku.



No comments:

Post a Comment

Leave comment