19 March 2011

Intan



“Apa kamu nggak salah pilih rud? Calon istrimu itu tidak cantik, lihat dia sudah pendek, hitam, dan tubuhnya pun tak proporsional.”

“Iya rud, kamu ni kesambet apa sih? Coba ngaca, kamu tu tampan, badanmu bagus. Sekali lirik kamu bisa menggaet semua cewek yang ada disamping kamu.”

Aku hanya mendengarkan ocehan kedua temanku. Aku sadar bahwa mereka sangat menyayangiku, tapi ini adalah hari akad nikahku. Hari dimana aku akan membawa Intan sebagai istriku. Sekilas aku melihat diriku sendiri dikaca. Melihat wajah yang tampan ini didepan cermin, wajah yang terkadang membuatku sombong dan merasa diriku lah yang terbaik. Tapi dengan wajah ini pula aku malu dihadapan calon istriku. Bagi kebanyakan orang, dia memang si buruk rupa. Namun bagiku dia mutiara yang cantik.

We're here on this Special Day
Our hearts are full Of pleasure
A day that brings the two of you
Close Together
We're gathered here to celebrate
A moment you'll always treasure
We ask Allah to make your love
Last forever
Let's raise our hands and make du'a
Like the prophet taught us
And with one voice let's all
Say...say...say
Barakallahu lakuma wa baraka
Alaikumaa wa jama'a bainakuma fii khaiiir

Lagu maher zein mengiringi masa penantianku di ruangan itu. Jam 8 pagi waktu blitar. Dadaku bergemuruh dengan kencangnya. Sebentar lagi prosesi itu dimulai. Aku melirik kedalam rumah calon istriku, dan kudapati dia berjalan kearahku dengan balutan baju dan jilbab putihnya diiringi ibu dan saudara saudaranya. Dia duduk dibelakangku, sedangkan aku berada didepan calon ayah mertuaku yang menjadi penghulu.Kujabat erat tangan calon ayah mertuaku. Kutatap wajahnya mantap dan menarik nafas dalam dalam.
"Saya terima nikah dan kawinnya Intan anggraeni binti Pramudyo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai".
SAAAAHHHH!!!!
Kudengar teriakan dari semua tamu undangan yang ada didalam rumah itu. Alhamdulillah akhirnya plong juga. Kutoleh Intan dan kuulurkan tanganku ke arahnya, dia menjabat tanganku dan mencium tanganku dengan takzim. Setelah acara akad nikah dilanjutkan dengan walimatul ursy secara sederhana. Kami berbincang bincang dengan teman teman kami. Tak terasa waktu bergulir begitu cepat. Malam pun tiba. Intan pamit dulu menuju kekamar untuk membereskan sesuatu. Dan tak lama kemudian aku pun mengikutinya. Rasanya kikuk bercampur menjadi satu. Bagaimana tidak, di kamar baru ini ada seorang wanita yang sedang menungguku dengan balutan  jilbab birunya. Warna kesukaanku.

“Assalamualaikum”
Dia menoleh dan menjawab salamku “Waalaikumsalam”.
Aku mendekatinya dan duduk ditepi ranjang bersebelahan dengan ranjangnya. Dia hanya menunduk saja tanpa berani menatapku. Kuraih dagunya dengan tangan gemetar.
“Istriku…”. Kupegang kepalanya dan kubacakan doa yang seharusnya kuucap dimalam pertama kami. Setelah selesai mengucapkan doa kukecup keningnya. Air mata bening meleleh dari wajahnya.
“Kenapa kau menangis sayang?”
“Bahagia mas, akhirnya aku diberi kesempatan bersamamu. Terima kasih karena telah menerimaku apa adanya. Dan semoga pernikahan kita diridhoi Allah.”
Aku tersenyum mendengarnya. Ah Intan kau selalu bisa menyejukkan hatiku.
“Kita sholat dulu mas”.

Beberapa hari, minggu, dan bulan berlalu keluarga kecil kami tumbuh. Sekarang Intan sudah mengandung dan masa kehamilannya sudah sembilan bulan. Menurut dokter saat saat ini bayi kami akan lahir.
“Abi perut umi sakit bi”. Istriku berteriak dari dapur kami. Saat itu dia menyiapkan sarapan untukku.
“Kenapa mi?” aku bingung mendapati istriku mengerang kesakitan.
“Sakit bi..”
Kulihat ada darah dikaki istriku, istriku pendarahan, segera kularikan dia kerumah sakit bunda. Untunglah tempatnya tidak jauh dari kontrakan kami.
“bapak tunggu diluar saja ya”. Ucap suster sambil menahanku diluar.
“Jangan sus, saya ingin suami saya ada disamping saya.” Pinta istriku iba
Akhirnya akupun masuk kedalam. Dokter dokter itu bertindak cepat dan meminta istriku untuk mengejan. Tangannya mencengkeram tanganku dengan eratnya. Kurelakan lenganku menerima cakarannya. Aku tidak tega melihatnya bertaruh nyawa di ruang salin.
“Terus bu, bayinya hampir keluar.”
Pergulatan pun berakhir ketika suara bayi pertama kali kudengar.
“Oeeeeeee”..
Suster menggendongnya dan kuadzani. Kebawa didekat istriku yang nampak kelelahan. Dia hanya tersenyum dan setelah itu dia memejamkan mata. Dokter yang ada disampingku mencoba membangunkan istriku tapi dia tidak menjawab. Dihentakkan alat pacu jantung itu ke dada istriku namun dia bergeming. Gelap.

Beberapa hari setelah kepergiannya aku merasakan sepi dikehidupanku, hanya Zahra yang sekarang menemaniku. Putri kami satu satunya yang cantik. Meskipun bagi kebanyakan orang aku terlalu sempurna untuknya namun sekarang ku sadar bahwa dialah yang terlalu sempurna untukku. Dan amanah yang dititipkan kediriku pun berakhir disini. Dia telah mendapatkan tempat terbaiknya disana.



No comments:

Post a Comment

Leave comment